Penulis : Masluki SP., MP. (Dosen Fakultas Pertanian Univ. Cokroaminoto Palopo)
Berdasarkan Statistik Perkebunan Indonesia (2015-2017) luas areal sagu Indonesia sebesar 219.978 ha dengan total produksi 489.643 ton. Terdiri dari 199.778 ha dengan total produksi sebesar 328.444 ton pada perkebunan rakyat dan 20.200 ha dengan total produksi 161.199 ton perkebunan swasta.
Areal pertanaman sagu di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2015 seluas 3.896 ha dengan produksi 2.560 ton, tahun 2016 seluas 4.251 ha dengan Produksi 2.599 ton dan tahun 2017 seluas 4.383 ha dengan produksi 2.626 ton.
Meskipun terdapat kenaikan estimasi areal pertanaman sagu, namun produktivitas tidak mengalami kenaikan signifikan. Rata-rata luas lahan sagu di Sul-Sel 4.177 ha dengan produksi 2.595 ton/ha/thn sehingga produktivitas lahan hanya mencapai 1.6 ton/ha/thn.
Tana Luwu memiliki luas areal sagu terbesar di Sulsel yaitu 3.598 ha dengan rincian; Kota Palopo memiliki luas lahan sagu yang 320 ha, Kabupaten Luwu luas areal 1.385 ha, Kabuten Luwu Utara luas areal 1.760 ha dan Kabupaten Luwu Timur dengan luas areal 133 ha.
Potensi sagu sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal khususnya untuk perkebunan rakyat. Produksi tanaman sagu pada perkebunan rakyat masih sangat rendah hanya rata – rata 1.64 hon/ha/thn, sedangkan untuk perkebunan sagu swasta sudah tergolong tinggi dengan produksi rata – rata 7.98 ton/ha/thn.
Rendahnya produksi sagu pada perkebunan rakyat dikarenakan belum adanya budidaya secara intensif berkelanjutan yang dilakukan oleh petani. Sehingga sagu dapat ditingkatkan potensinya sesuai dengan estimasi hasil pati tanaman sagu per hektare per tahun yang diolah dengan teknik tradisional antara 2.8 hingga 6.6 ton/ha/tahun, sedang dengan secara moderen antara 5.9 hingga 13.7 ton/ha/tahun.
Sagu dalam Perspektif Sejarah Tana Luwu
Dari perspektif kesejarahan, masyarakat Tana Luwu telah mengenal sagu “tawaro” sebagai pangan utama. Secara sosial budaya dijadikan panganan perekat secara turun-temurun. Hal ini dimungkinkan karena di sepanjang wilayah Tana Luwu tumbuh hutan sagu yang melimpah dan dapat dipanen sepanjang tahun.
Sebelum revolusi hijau, padi atau beras ketika itu masih menjadi makanan ekslusif bagi kalangan atas atau keluarga-keluarga bangsawan. Ketika terjadi intensifikasi dan ekstensifikasi secara massif di sektor pangan, perkebunan dan hortikultura, hutan sagu semakin tersedesak ke kawasan marjinal dimana tanaman budidaya tidak dapat tumbuh dengan baik.
Lambat laun sagu tergantikan dengan pangan beras, hanya di daerah pelosok yang tidak mampu mengakses beras yang masih mengkonsumsi sagu. Sehingga sagu menjadi makanan masyarakat kelas menengah kebawah.
Seiring dengan semakin berkembangnya penelitian tentang maanfaat dari kandungan sagu dan aneka ragam produk olahannya, sagu mulai dilirik sebagai salah satu komoditi unggulan. Terbukti dengan semakin gencarnya pemerintah daerah dan perguruan tinggi melakukan diseminasi hasil penelitian dan pengembangan kawasan Sago Techno Park di Kota Palopo.
Karakteristik Unik Pohon Sagu
Sagu memiliki keunikan tersendiri karena memiliki daya adaptasi yang luas. Dapat tumbuh pada daerah yang mengalami intrusi air laut, rawa tergenang permanen dan temporer, daerah aliran sungai hingga dataran mencapai 600 m diatas permukaan laut. Sebagai tanaman tahunan yang menimbun asimilat fotosintat dalam bentuk pati pada bagian batang sehingga membutuhkan penanganan secara khusus.
Umur panen tanaman sagu yang mencapai 7 – 10 tahun pada skala hutan sagu yang sangat tergantung jenis dan kondisi agroekosistemnya. Selain itu, sagu merupakan tanaman jenis hepaxantic dimana jika telah berbunga maka kandungan pati dalam batang akan ditranslokasikan pada bagian buah. Setelah berbuah, sagu akan masuk fase lewat masa panen dan mengalami kematian.
Umur panen sagu yang tergolong lama dianggap sebagai tanaman yang tidak ekonomis. Petani tidak lagi menanam sagu, pada umumnya lahan sagu yang potensial telah diubah fungsi menjadi lahan komoditi semusim.
Rekayasa genetik sagu melalui bioteknologi untuk menghasilkan sagu berumur genjah masih menjadi perdebatan. Merubah materi genetik sagu khususnya pada aspek umur tentu akan berdampak pada produksi pati dan agroekosistemnya.
Sagu berbeda dengan tanaman lain seperti kelapa sawit yang dipanen Tandan Buah Segarnya sepanjang tahun setelah berbuah umur 3-20 tahun, Tebu yang dipanen batangnya hanya berumur 11-14 bulan. Tanaman sagu dengan umur panen 7 – 10 tahun dipanen pada bagian batangnya, setelah panen akan digantikan dengan anakan yang segera masuk fase masa tebang panen.
Pada hutan sagu pengaturan jarak tanam dapat dilakukan dengan pengurangan dan penyisipan anakan. Perbanyakan sagu hasil rekayasa genetik dan diperbanyak melalui kultur jaringan dikwatirkan menghasilkan anakan yang tidak sama dengan sifat induknya setelah berproduksi.
Jika hal tersebut terjadi, maka dampaknya petani akan menanam bibit sagu baru dilahan yang sama setelah panen. Membayangkan umur sagu genjah 4 tahun fase masa tebang panen, berarti setiap 4 tahun dilakukan penanaman bibit, tidak ekonomis dibandingkan dengan mengelola sagu yang tersedia saat ini. Selain itu, merubah genetik tanaman secara otomatis merubah fenotipenya sehinga berdampak terhadapat agroekosistem.
Oleh karena itu masih dibutuhkan pengkajian dan penelitian secara mendalam. Melalui teknologi budidaya, sagu mampu menghasilkan pati lebih cepat dari yang ada pada hutan rawa sagu, sehingga umur panennya lebih pendek dengan produksi optimal.
Hutan sagu yang tersedia saat ini pada tersisa di daerah pinggiran sungai, rawa dan pinggiran kebun yang dianggap lahan tidak produktif. Hutan sagu yang terluas masih didominasi oleh rawa tergenang temporer dan permanen.
Sedangkan pada kondisi cekaman genangan potensi produksi sagu sangat rendah bahkan tidak dapat berproduksi. Sehingga dikhawatirkan sagu akan punah dimasa yang akan datang jika tidak dilakukan konservasi dan penataan hutan sagu dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis.
Menanam sagu untuk tujuan produksi membutuhkan waktu lama. Hutan sagu yang tersedia hanya membutuhkan penataan untuk meningkatkan produksi secara berkelanjutan.
Hutan sagu yang didominasi oleh rumpun sagu maupun yang berkompetisi dengan semak belukar dan pepohonan pada daerah berawa memiliki produktivitas yang rendah. Kompetisi intraspesifik dan interspesifik antara tanaman sagu sendiri dalam rumpun, semak dan pepohonan dalam mendapatkan cahaya, unsur hara, oksigen dan ruang tumbuh sangat tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan produksi sagu tidak optimal.
Dukungan kebijakan melalui UU 41 tahun 1999 tentang hasil hutan berupa benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. sumberdaya hutan non kayu: bambu, nipah, sagu, bakau, enau, jamur, tanaman obat, rumput-rumputan, dll.
Selain itu, ada juga Permenhut RI No. : P.50/Menhut-Ii/2013 Tentang Perubahan Atas Permenhut No. P.29/Menhutii/2010 Tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Tanaman Industri Sagu serta Permen Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.103/Menhut-Ii/2014 Tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Alam Atau Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi.
Adanya dasar hukum yang melandasi pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) termasuk sagu, dapat mendukung kegiatan eksplorasi dan penataan hutan sagu. Namun diperlukan sinergitas pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten untuk menerjemahkan secara teknis melalui peraturan daerah berdasarkan kebutuhan masing – masing daerah.
Penataan Hutan Sagu di Tana Luwu
Penataan hutan sagu merupakan solusi alternatif meningkatkan produktivitas sagu. Melalui manajemen pertanaman dengan pengaturan jarak tanam, pengurangan jumlah anakan, penyiangan gulma,pengendalian hama dan penyakit, pengatutan air, pemupukan, pemangkasan pelepah, pembuatan kanal, pemeliharaan anakan produktif, taksasi produksi hingga penanganan panen dan pasca panen.
Pengaturan ruang tumbuh memungkinkan untuk tetap mempertahankan agroekosistem sagu melalui kegiatan terpadu. Tumpangsari sagu dengan palawija, pemeliharaan ikan pada kanal, beternak unggas melalui pemanfaatan limbah ampas sagu untuk ternak dan ikan dapat menjadi sumber pendapatan bagi petani.
Penanaman dengan jarak tanam 8 x 8 m dapat menghasilkan 156 populasi. Pemeliharaan anakan produktif pada berbagai fase pertumbuhan dimulai dari semai, bibit, tiang, batang belum menghasilkan dan batang menghasilkan. Pola tersebut dapat menjaga keberlanjutan panen pada skala yang terukur sehingga produksi dapat ditingkatkan.
Menurut Bintoro (2008), Pohon sagu dapat menghasilkan 200 – 400 kg pati, jika dirata-ratakan 300 kg pati/pohon maka dapat dihasilkan 46.8 ton pati basah /ha/thn. Lebih tinggi jika dibandingkan rata – rata produksi padi nasional sebesar 11 ton/ha/thn gabah kering giling dan jagung sebesar 10 ton/ha/thn jagung kering pipil. Dengan demikian, Potensi produksi sagu Tana Luwu dengan luas areal 3.598 ha dapat dihasilkan sebesar 168.386.4 ton/ha/thn pati.
Hutan sagu yang tersedia saat ini di Tana Luwu pada umumnya telah dikelolah oleh masyarakat, sehingga kendala mengkonsolidasikan lahan hutan sagu perlu perencanaan secara maksimal.
Dibutuhkan kesadaran stakeholder khususnya masyarakat akan pentingnya menjaga keberlanjutan sagu sebagai sumber pangan, energi, fungsi ekologis dan bahan baku industri. Pembuatan kebijakan sebagai agenda penataan kelembagaan petani dari hulu ke hilir terkait persaguan perlu digalakkan baik tingkat desa, kecamatan dan kabupaten/kota.
Dibutuhkan penyuluhan dan pendampingan masyarakat terkait teknologi budidaya sagu yang ramah lingkungan dan terpadu pada areal hutan sagu. Perlu adanya perbaikan penanganan panen dan pasca panen untuk menjaga kualitas produksi pati sagu hingga produk olahan dan pemasarannya.
Last Updated: February 8, 2020 by TSI
Solusi Peningkatan Produktivitas Sagu di Tana Luwu
Penulis : Masluki SP., MP. (Dosen Fakultas Pertanian Univ. Cokroaminoto Palopo)
Berdasarkan Statistik Perkebunan Indonesia (2015-2017) luas areal sagu Indonesia sebesar 219.978 ha dengan total produksi 489.643 ton. Terdiri dari 199.778 ha dengan total produksi sebesar 328.444 ton pada perkebunan rakyat dan 20.200 ha dengan total produksi 161.199 ton perkebunan swasta.
Areal pertanaman sagu di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2015 seluas 3.896 ha dengan produksi 2.560 ton, tahun 2016 seluas 4.251 ha dengan Produksi 2.599 ton dan tahun 2017 seluas 4.383 ha dengan produksi 2.626 ton.
Meskipun terdapat kenaikan estimasi areal pertanaman sagu, namun produktivitas tidak mengalami kenaikan signifikan. Rata-rata luas lahan sagu di Sul-Sel 4.177 ha dengan produksi 2.595 ton/ha/thn sehingga produktivitas lahan hanya mencapai 1.6 ton/ha/thn.
Tana Luwu memiliki luas areal sagu terbesar di Sulsel yaitu 3.598 ha dengan rincian; Kota Palopo memiliki luas lahan sagu yang 320 ha, Kabupaten Luwu luas areal 1.385 ha, Kabuten Luwu Utara luas areal 1.760 ha dan Kabupaten Luwu Timur dengan luas areal 133 ha.
Potensi sagu sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal khususnya untuk perkebunan rakyat. Produksi tanaman sagu pada perkebunan rakyat masih sangat rendah hanya rata – rata 1.64 hon/ha/thn, sedangkan untuk perkebunan sagu swasta sudah tergolong tinggi dengan produksi rata – rata 7.98 ton/ha/thn.
Rendahnya produksi sagu pada perkebunan rakyat dikarenakan belum adanya budidaya secara intensif berkelanjutan yang dilakukan oleh petani. Sehingga sagu dapat ditingkatkan potensinya sesuai dengan estimasi hasil pati tanaman sagu per hektare per tahun yang diolah dengan teknik tradisional antara 2.8 hingga 6.6 ton/ha/tahun, sedang dengan secara moderen antara 5.9 hingga 13.7 ton/ha/tahun.
Sagu dalam Perspektif Sejarah Tana Luwu
Dari perspektif kesejarahan, masyarakat Tana Luwu telah mengenal sagu “tawaro” sebagai pangan utama. Secara sosial budaya dijadikan panganan perekat secara turun-temurun. Hal ini dimungkinkan karena di sepanjang wilayah Tana Luwu tumbuh hutan sagu yang melimpah dan dapat dipanen sepanjang tahun.
Sebelum revolusi hijau, padi atau beras ketika itu masih menjadi makanan ekslusif bagi kalangan atas atau keluarga-keluarga bangsawan. Ketika terjadi intensifikasi dan ekstensifikasi secara massif di sektor pangan, perkebunan dan hortikultura, hutan sagu semakin tersedesak ke kawasan marjinal dimana tanaman budidaya tidak dapat tumbuh dengan baik.
Lambat laun sagu tergantikan dengan pangan beras, hanya di daerah pelosok yang tidak mampu mengakses beras yang masih mengkonsumsi sagu. Sehingga sagu menjadi makanan masyarakat kelas menengah kebawah.
Seiring dengan semakin berkembangnya penelitian tentang maanfaat dari kandungan sagu dan aneka ragam produk olahannya, sagu mulai dilirik sebagai salah satu komoditi unggulan. Terbukti dengan semakin gencarnya pemerintah daerah dan perguruan tinggi melakukan diseminasi hasil penelitian dan pengembangan kawasan Sago Techno Park di Kota Palopo.
Karakteristik Unik Pohon Sagu
Sagu memiliki keunikan tersendiri karena memiliki daya adaptasi yang luas. Dapat tumbuh pada daerah yang mengalami intrusi air laut, rawa tergenang permanen dan temporer, daerah aliran sungai hingga dataran mencapai 600 m diatas permukaan laut. Sebagai tanaman tahunan yang menimbun asimilat fotosintat dalam bentuk pati pada bagian batang sehingga membutuhkan penanganan secara khusus.
Umur panen tanaman sagu yang mencapai 7 – 10 tahun pada skala hutan sagu yang sangat tergantung jenis dan kondisi agroekosistemnya. Selain itu, sagu merupakan tanaman jenis hepaxantic dimana jika telah berbunga maka kandungan pati dalam batang akan ditranslokasikan pada bagian buah. Setelah berbuah, sagu akan masuk fase lewat masa panen dan mengalami kematian.
Umur panen sagu yang tergolong lama dianggap sebagai tanaman yang tidak ekonomis. Petani tidak lagi menanam sagu, pada umumnya lahan sagu yang potensial telah diubah fungsi menjadi lahan komoditi semusim.
Rekayasa genetik sagu melalui bioteknologi untuk menghasilkan sagu berumur genjah masih menjadi perdebatan. Merubah materi genetik sagu khususnya pada aspek umur tentu akan berdampak pada produksi pati dan agroekosistemnya.
Sagu berbeda dengan tanaman lain seperti kelapa sawit yang dipanen Tandan Buah Segarnya sepanjang tahun setelah berbuah umur 3-20 tahun, Tebu yang dipanen batangnya hanya berumur 11-14 bulan. Tanaman sagu dengan umur panen 7 – 10 tahun dipanen pada bagian batangnya, setelah panen akan digantikan dengan anakan yang segera masuk fase masa tebang panen.
Pada hutan sagu pengaturan jarak tanam dapat dilakukan dengan pengurangan dan penyisipan anakan. Perbanyakan sagu hasil rekayasa genetik dan diperbanyak melalui kultur jaringan dikwatirkan menghasilkan anakan yang tidak sama dengan sifat induknya setelah berproduksi.
Jika hal tersebut terjadi, maka dampaknya petani akan menanam bibit sagu baru dilahan yang sama setelah panen. Membayangkan umur sagu genjah 4 tahun fase masa tebang panen, berarti setiap 4 tahun dilakukan penanaman bibit, tidak ekonomis dibandingkan dengan mengelola sagu yang tersedia saat ini. Selain itu, merubah genetik tanaman secara otomatis merubah fenotipenya sehinga berdampak terhadapat agroekosistem.
Oleh karena itu masih dibutuhkan pengkajian dan penelitian secara mendalam. Melalui teknologi budidaya, sagu mampu menghasilkan pati lebih cepat dari yang ada pada hutan rawa sagu, sehingga umur panennya lebih pendek dengan produksi optimal.
Hutan sagu yang tersedia saat ini pada tersisa di daerah pinggiran sungai, rawa dan pinggiran kebun yang dianggap lahan tidak produktif. Hutan sagu yang terluas masih didominasi oleh rawa tergenang temporer dan permanen.
Sedangkan pada kondisi cekaman genangan potensi produksi sagu sangat rendah bahkan tidak dapat berproduksi. Sehingga dikhawatirkan sagu akan punah dimasa yang akan datang jika tidak dilakukan konservasi dan penataan hutan sagu dengan tetap mempertahankan fungsi ekologis.
Menanam sagu untuk tujuan produksi membutuhkan waktu lama. Hutan sagu yang tersedia hanya membutuhkan penataan untuk meningkatkan produksi secara berkelanjutan.
Hutan sagu yang didominasi oleh rumpun sagu maupun yang berkompetisi dengan semak belukar dan pepohonan pada daerah berawa memiliki produktivitas yang rendah. Kompetisi intraspesifik dan interspesifik antara tanaman sagu sendiri dalam rumpun, semak dan pepohonan dalam mendapatkan cahaya, unsur hara, oksigen dan ruang tumbuh sangat tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan produksi sagu tidak optimal.
Dukungan kebijakan melalui UU 41 tahun 1999 tentang hasil hutan berupa benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. sumberdaya hutan non kayu: bambu, nipah, sagu, bakau, enau, jamur, tanaman obat, rumput-rumputan, dll.
Selain itu, ada juga Permenhut RI No. : P.50/Menhut-Ii/2013 Tentang Perubahan Atas Permenhut No. P.29/Menhutii/2010 Tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Tanaman Industri Sagu serta Permen Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.103/Menhut-Ii/2014 Tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Dalam Hutan Alam Atau Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi.
Adanya dasar hukum yang melandasi pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) termasuk sagu, dapat mendukung kegiatan eksplorasi dan penataan hutan sagu. Namun diperlukan sinergitas pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten untuk menerjemahkan secara teknis melalui peraturan daerah berdasarkan kebutuhan masing – masing daerah.
Penataan Hutan Sagu di Tana Luwu
Penataan hutan sagu merupakan solusi alternatif meningkatkan produktivitas sagu. Melalui manajemen pertanaman dengan pengaturan jarak tanam, pengurangan jumlah anakan, penyiangan gulma,pengendalian hama dan penyakit, pengatutan air, pemupukan, pemangkasan pelepah, pembuatan kanal, pemeliharaan anakan produktif, taksasi produksi hingga penanganan panen dan pasca panen.
Pengaturan ruang tumbuh memungkinkan untuk tetap mempertahankan agroekosistem sagu melalui kegiatan terpadu. Tumpangsari sagu dengan palawija, pemeliharaan ikan pada kanal, beternak unggas melalui pemanfaatan limbah ampas sagu untuk ternak dan ikan dapat menjadi sumber pendapatan bagi petani.
Penanaman dengan jarak tanam 8 x 8 m dapat menghasilkan 156 populasi. Pemeliharaan anakan produktif pada berbagai fase pertumbuhan dimulai dari semai, bibit, tiang, batang belum menghasilkan dan batang menghasilkan. Pola tersebut dapat menjaga keberlanjutan panen pada skala yang terukur sehingga produksi dapat ditingkatkan.
Menurut Bintoro (2008), Pohon sagu dapat menghasilkan 200 – 400 kg pati, jika dirata-ratakan 300 kg pati/pohon maka dapat dihasilkan 46.8 ton pati basah /ha/thn. Lebih tinggi jika dibandingkan rata – rata produksi padi nasional sebesar 11 ton/ha/thn gabah kering giling dan jagung sebesar 10 ton/ha/thn jagung kering pipil. Dengan demikian, Potensi produksi sagu Tana Luwu dengan luas areal 3.598 ha dapat dihasilkan sebesar 168.386.4 ton/ha/thn pati.
Hutan sagu yang tersedia saat ini di Tana Luwu pada umumnya telah dikelolah oleh masyarakat, sehingga kendala mengkonsolidasikan lahan hutan sagu perlu perencanaan secara maksimal.
Dibutuhkan kesadaran stakeholder khususnya masyarakat akan pentingnya menjaga keberlanjutan sagu sebagai sumber pangan, energi, fungsi ekologis dan bahan baku industri. Pembuatan kebijakan sebagai agenda penataan kelembagaan petani dari hulu ke hilir terkait persaguan perlu digalakkan baik tingkat desa, kecamatan dan kabupaten/kota.
Dibutuhkan penyuluhan dan pendampingan masyarakat terkait teknologi budidaya sagu yang ramah lingkungan dan terpadu pada areal hutan sagu. Perlu adanya perbaikan penanganan panen dan pasca panen untuk menjaga kualitas produksi pati sagu hingga produk olahan dan pemasarannya.
Recent Publications
TSI in Media News