Oleh: Sawedi Muhammad (Sosiolog Universitas Hasanuddin)
Presiden Jokowi berkunjung ke Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Kamis, 30 Maret 2023. Tujuannya adalah melihat langsung operasi perusahaan salah satu tambang nikel terbesar di Indonesia yaitu PT. Vale Indonesia, Tbk.
Kunjungan Jokowi yang pertama kalinya ke PT. Vale, tentu saja memiliki makna simbolik yang sarat interpretasi.
Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, kunjungan seperti ini masuk kategori urgen dan strategis karena implikasinya akan berdampak langsung terhadap kepentingan nasional.
PT. Vale dan Kepentingan Nasional
Kehadiran PT. Vale Indonesia (dulunya PT. Inco) sejak 1968 telah menarik perhatian publik secara luas. Di samping karena menjadi salah satu perusahaan multinasional pertama yang diberikan Kontrak Karya dengan luas awal sekitar 6,6 juta hektar pada tanggal 25 Juli 1968, PT. Inco-Vale juga merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang langsung memproduksi biji nikel menjadi produk setengah jadi dalam bentuk nikel matte.
Tentu saja justifikasi kehadirannya didasari oleh kepentingan nasional mendatangkan investasi asing di sektor pertambangan yang implikasinya memberi kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan, mengurangi pengangguran, mengentaskan kemiskinan dan mensejahterahkan rakyat.
Karena kebutuhan modal yang sangat besar, tentu saja kehadiran industri raksasa di daerah pedalaman seperti Sorowako diharapkan memberi efek berganda (multiplier effect) yang positif terhadap masyarakat lokal, terutama yang berdomisili di lingkar tambang.
Setelah beroperasi lebih dari setengah abad, kehadiran PT. Vale Indonesia diklaim berkontribusi signifikan terhadap pendapatan negara, baik yang diterima oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dan kabupaten.
Sebagai contoh, pada tahun 2021 Vale Indonesia berkontribusi pada negara melalui pembayaran pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar US$ 142,9 juta atau setara Rp 2 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.000.
Dari kontribusi pajak tersebut, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menerima sebesar US$ 9,9 juta atau setara Rp 138,6 miliar dan ke Kabupaten Luwu Timur US$ 13,6 juta atau setara Rp 190,4 miliar.
Selain kontribusi finansial, PT. Vale juga berkontribusi langsung terhadap penyerapan tenaga kerja. Menurut data Februari 2022, karyawan Vale mencapai 2.951 orang, 86% diantaranya diklaim sebagai warga lokal karena memiliki KTP Kabupaten Luwu Timur. Jumlah tersebut di luar karyawan yang bekerja di kontraktor sekitar 6.000 orang (Kontan, 05 April, 2022).
Dari segi kepemilikan saham, PT Vale tidak lagi murni sebagai perusahaan asing. Melalui aksi korporasi, pemerintah RI melalui MIND ID resmi melakukan Perjanjian Jual Beli Saham (Shares Purchase Agreement) PT Vale Indonesia pada tanggal 19 Juni 2020 sebesar 20% senilai Rp 5,5 triliun.
Pelepasan saham ini merupakan kewajiban dari amandemen Kontrak Karya (KK) di tahun 2014 antara Vale dan Pemerintah Republik Indonesia (CNBC, 20 Juni, 2020). Selain itu, terdapat 20,7% merupakan saham publik terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang belum tentu murni dimiliki Indonesia (CNBC, 17 Februari, 2023).
Sisi Gelap Industri Pertambangan
Di samping kontribusi positif yang diharapkan, industri pertambangan juga memiliki sisi gelap (the dark side) yang secara proporsional harus diperhatikan agar dampak yang ditimbulkan sedapat mungkin dapat dimitigasi.
Karena sifatnya tambang terbuka (open pit mining), PT. Vale diperhadapkan pada berbagai tantangan sulit dalam mewujudkan prinsip-prinsip dan kaidah pertambangan yang berstandar nasional dan internasional seperti ESG (Environment, Social and Governance), TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan), SDGs (Sustainable Development Goals), GPGMB (Good Practice Guide for Mining and Biodiversity) dan lain sebagainya.
Selain itu, karakteristik industri tambang yang membutuhkan energi besar yang tidak terbarukan seperti Solar, batubara, High Sulfur Fuel Oil (HSFO) dalam jumlah masif, tentu menimbulkan dampak lingkungan yang tidak ringan.
Belum lagi pencemaran air dan udara, ancaman kehilangan keanekaragaman flora dan fauna, kerusakan permanen bentang alam serta ancaman konflik sosial akibat asimilasi dan akulturasi masyarakat lingkar tambang yang sangat dinamis.
Sebagai ilustrasi pada tahun 2020, PT Vale membelanjakan sebesar US$ 42 juta untuk kebutuhan batubara (426,429 juta liter), US$ 30 juta untuk membeli 76 juta liter High Speed Diesel (HSD) dan US$ 55 juta untuk membeli 1,3 juta barel High Sulfur Fuel Oil (HSFO). Total belanja untuk energi fossil PT. Vale tahun 2020 mencapai sekitar 1,7 triliun (Annual Report PT Vale Indonesia, 2020).
Konsumsi energi dalam volume sangat masif tersebut tentu saja berdampak langsung terhadap pencemaran udara dan penyebaran debu yang telah berlangsung lebih dari setengah abad. Dampaknya bagi kesehatan manusia dan ekologi di sekitar wilayah tambang tentu saja tidak dapat disepelekan.
Penolakan 3 Gubernur
Menimbang kompleksitas keberadaan PT. Vale Indonesia yang dinilai tidak maksimal berkontribusi terhadap pembangunan daerah, 3 Gubernur di Sulawesi secara tegas menyatakan penolakannya terhadap perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP) PT. Vale.
Keputusan 3 Gubernur tersebut disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) Panitia Kerja (Panja) Vale dengan Sekjen dan Plh Dirjen Minerba Kementerian ESDM di Jakarta, Kamis 8 September 2022.
Ketiga Gubernur tersebut adalah Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura. “Satu kata dari kami, tidak ada perpanjangan untuk mereka (PT. Vale),”tegas Andi Sudirman dalam RDP tersebut (detiksulsel, 8 September, 2022).
Penolakan 3 Gubernur di Sulawesi tersebut bukanlah perkara main-main. Kontrak Karya (KK) PT. Vale akan berakhir pada 28 Desember 2025, sementara berbagai “kewajiban” perusahaan belum juga dituntaskan.
Diantara kewajiban itu adalah kejelasan divestasi saham sebesar 51% dimana negara baru menguasai sebesar 20%, sementara Vale mengklaim saham sebesar 20% yang terjual lewat Bursa Efek Indonesia juga dianggap sebagai bagian dari divestasi saham.
Menurut PT. Vale kewajiban divestasi saham untuk mematuhi kewajibannya sisa 11% saja. Pertanyaannya, siapa pemilik saham 20% yang dibeli oleh publik? Isu mendesak lainnya yang sampai hari ini tidak pernah diklarifikasi oleh PT. Vale adalah kejelasan status pengelolaan bendungan Larona (165 MW).
Dalam suratnya yang ditujukan ke Presiden Direktur PT. Vale Indonesia tanggal 4 Juli 2021, Bupati Luwu Timur mempertanyakan mengapa bendungan Larona tidak diserahkan ke negara (Batarapos, 08/07/2021).
Di laporan tahunan PT. Vale Indonesia tahun 2020 disebutkan bahwa, “Fasilitas pembangkit listrik tenaga air (PLTA) perseroan yang ada pada saat ini dibangun dan beroperasi berdasarkan Keputusan Pemerintah tahun 1975.
Keputusan ini yang secara efektif juga mencakup pembangkit listrik Karebbe dan Balambano (yang merupakan tambahan dari fasilitas pembangkit listrik awal Larona), memberikan hak kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil alih fasilitas listrik tenaga air tersebut, dengan pemberitahuan tertulis kepada perseroan dua tahun sebelum pengambilalihan” (Annual Report PT. Vale, 2020).
Beberapa Rekomendasi
Kunjungan Presiden ke Sorowako memberi angin segar bagi PT. Vale yang tengah berjuang meyakinkan pemerintah untuk mengamankan IUPK setelah 2025. Meski demikian, keputusan apakah memperpanjang izin pertambangan atau tidak tentu saja akan melewati proses yang tidak mudah. Yang pasti rezim KK telah berakhir.
Pemerintah pusat memegang kendali utama dalam pengambilan keputusan yang tentu saja akan mempertimbangkan rekomendasi dari DPR RI dalam hal ini Panitia Kerja PT Vale yang sedang bekerja.
Penolakan 3 Gubernur dan berbagai isu strategis lainnya seperti minimnya kontribusi ke daerah, divestasi saham, masalah lingkungan, tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat, pembinaan terhadap kontraktor lokal dan relasi dengan pemerintah Kabupaten dan Provinsi, tentu akan dijadikan perhatian khusus.
Memberikan IUPK ke PT. Vale Indonesia tanpa mempertimbangkan berbagai permasalahan kumulatif yang ekstra kompleks di atas tidak hanya memperburuk relasi antara pemangku kepentingan kunci di kabupaten dan provinsi, tetapi juga akan memperburuk hubungan antara pusat dan pemerintah daerah.
Resistensi masyarakat di lingkar tambang sudah pasti akan semakin menguat dan tentu saja akan mempersulit kinerja perusahaan untuk mencapai performa maksimal. Berikut ini beberapa rekomendasi yang patut dijadikan pertimbangan.
Pertama, pemerintah pusat segera melakukan dialog dengan pemerintah provinsi dan kabupaten dan mendengar aspirasi mereka mengenai keberadaan perusahaan selama lebih dari setengah abad beroperasi di wilayahnya.
Permasalahan yang mereka suarakan selayaknya didengarkan dan usulan mereka yang rasional seperti bagi hasil yang lebih berkeadilan, divestasi saham oleh provinsi dan kabupaten, pemberdayaan masyarakat yang tepat sasaran, rekrutmen tenaga kerja lokal dan pemberdayaan kontraktor lokal harus dipastikan diakomodir.
Rasanya tidak adil melihat kontribusi perusahaan yang tahun 2020 hanya sebesar Rp 138,6 milyar untuk provinsi dan Rp 190,4 milyar untuk kabupaten, sementara pengeluaran energi fossil yang mencemari lingkungan mencapai Rp 1,7 triliun.
Kedua, evaluasi komprehensif mengenai dampak lingkungan. Evaluasi yang melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten, masyarakat, media dan perguruan tinggi sangat mendesak untuk dilakukan.
Seperti disebutkan di atas, sekitar Rp 1,7 triliun belanja perusahaan di tahun 2020 untuk pembelian batubara, HSD dan HSFO yang tentu saja berkonsekuensi negatif terhadap manusia dan ekologi di sekitar pertambangan.
Kerusakan lingkungan akibat tambang terbuka diantaranya adalah pembukaan lahan (deforestasi) yang luasnya mencapai ribuan hektar, hilangnya flora dan fauna endemik, pencemaran air dan udara, pendangkalan danau dan deformasi lanskap yang sangat luas.
Valuasi komprehensif akibat kerusakan permanen dari proses pertambangan sangat mendesak dilakukan. Kekhawatiran akan besarnya kerusakan yang ditimbulkan dari pertambangan ketimbang manfaat yang diberikan patut dijadikan pertimbangan berdasarkan bukti-bukti berbasis saintifik (evidence based).
Ketiga, Divestasi saham. Sangat penting untuk memperjelas apakah kewajiban divestasi saham PT. Vale tersisa 11% atau 31%.
Kejelasan ini penting mengingat 20% saham yang diklaim PT. Vale terjual ke publik adalah bagian dari kewajiban divestasi 51% sangatlah tidak rasional.
Pemerintah harus mengusut pemilik saham 20% tersebut karena belum tentu semua pemiliknya adalah Warga Negara Indonesia.
Kejelasan selanjutnya adalah siapa yang diprioritaskan untuk membeli saham perusahaan yang menjadi kewajiban divestasi, apakah pemerintah pusat dalam hal ini MIND ID atau pemerintah povinsi atau kabupaten?
Catatan Penutup
Meski Presiden Jokowi telah melakukan kunjungan ke Sorowako, pemerintah pusat hendaknya tidak tergesa-gesa memutuskan perpanjangan IUPK PT. Vale Indonesia.
Keterbukaan dan keikhlasan pemerintah pusat untuk melibatkan pemerintah Provinsi, Kabupaten dan pergurun tinggi untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap keberadaan perusahaan yang telah beroperasi lebih dari setengah abad pasti akan sangat diapresiasi.
Penulis percaya, nasionalisme Presiden Jokowi tak akan pernah tergadaikan. Jejak rekam beliau telah terbukti memberi harapan kepada generasi penerus untuk menjadi pilar utama kemandirian bangsa secara ekonomi dan bermartabat secara kebudayaan.
[via TribunTimur]
Posted: April 2, 2023 by TSI
Menyoal Kunjungan Presiden Jokowi dan Perpanjangan Izin Operasi PT. Vale
Oleh: Sawedi Muhammad (Sosiolog Universitas Hasanuddin)
Presiden Jokowi berkunjung ke Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Kamis, 30 Maret 2023. Tujuannya adalah melihat langsung operasi perusahaan salah satu tambang nikel terbesar di Indonesia yaitu PT. Vale Indonesia, Tbk.
Kunjungan Jokowi yang pertama kalinya ke PT. Vale, tentu saja memiliki makna simbolik yang sarat interpretasi.
Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, kunjungan seperti ini masuk kategori urgen dan strategis karena implikasinya akan berdampak langsung terhadap kepentingan nasional.
PT. Vale dan Kepentingan Nasional
Kehadiran PT. Vale Indonesia (dulunya PT. Inco) sejak 1968 telah menarik perhatian publik secara luas. Di samping karena menjadi salah satu perusahaan multinasional pertama yang diberikan Kontrak Karya dengan luas awal sekitar 6,6 juta hektar pada tanggal 25 Juli 1968, PT. Inco-Vale juga merupakan perusahaan pertama di Indonesia yang langsung memproduksi biji nikel menjadi produk setengah jadi dalam bentuk nikel matte.
Tentu saja justifikasi kehadirannya didasari oleh kepentingan nasional mendatangkan investasi asing di sektor pertambangan yang implikasinya memberi kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan, mengurangi pengangguran, mengentaskan kemiskinan dan mensejahterahkan rakyat.
Karena kebutuhan modal yang sangat besar, tentu saja kehadiran industri raksasa di daerah pedalaman seperti Sorowako diharapkan memberi efek berganda (multiplier effect) yang positif terhadap masyarakat lokal, terutama yang berdomisili di lingkar tambang.
Setelah beroperasi lebih dari setengah abad, kehadiran PT. Vale Indonesia diklaim berkontribusi signifikan terhadap pendapatan negara, baik yang diterima oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dan kabupaten.
Sebagai contoh, pada tahun 2021 Vale Indonesia berkontribusi pada negara melalui pembayaran pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar US$ 142,9 juta atau setara Rp 2 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.000.
Dari kontribusi pajak tersebut, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menerima sebesar US$ 9,9 juta atau setara Rp 138,6 miliar dan ke Kabupaten Luwu Timur US$ 13,6 juta atau setara Rp 190,4 miliar.
Selain kontribusi finansial, PT. Vale juga berkontribusi langsung terhadap penyerapan tenaga kerja. Menurut data Februari 2022, karyawan Vale mencapai 2.951 orang, 86% diantaranya diklaim sebagai warga lokal karena memiliki KTP Kabupaten Luwu Timur. Jumlah tersebut di luar karyawan yang bekerja di kontraktor sekitar 6.000 orang (Kontan, 05 April, 2022).
Dari segi kepemilikan saham, PT Vale tidak lagi murni sebagai perusahaan asing. Melalui aksi korporasi, pemerintah RI melalui MIND ID resmi melakukan Perjanjian Jual Beli Saham (Shares Purchase Agreement) PT Vale Indonesia pada tanggal 19 Juni 2020 sebesar 20% senilai Rp 5,5 triliun.
Pelepasan saham ini merupakan kewajiban dari amandemen Kontrak Karya (KK) di tahun 2014 antara Vale dan Pemerintah Republik Indonesia (CNBC, 20 Juni, 2020). Selain itu, terdapat 20,7% merupakan saham publik terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang belum tentu murni dimiliki Indonesia (CNBC, 17 Februari, 2023).
Sisi Gelap Industri Pertambangan
Di samping kontribusi positif yang diharapkan, industri pertambangan juga memiliki sisi gelap (the dark side) yang secara proporsional harus diperhatikan agar dampak yang ditimbulkan sedapat mungkin dapat dimitigasi.
Karena sifatnya tambang terbuka (open pit mining), PT. Vale diperhadapkan pada berbagai tantangan sulit dalam mewujudkan prinsip-prinsip dan kaidah pertambangan yang berstandar nasional dan internasional seperti ESG (Environment, Social and Governance), TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan), SDGs (Sustainable Development Goals), GPGMB (Good Practice Guide for Mining and Biodiversity) dan lain sebagainya.
Selain itu, karakteristik industri tambang yang membutuhkan energi besar yang tidak terbarukan seperti Solar, batubara, High Sulfur Fuel Oil (HSFO) dalam jumlah masif, tentu menimbulkan dampak lingkungan yang tidak ringan.
Belum lagi pencemaran air dan udara, ancaman kehilangan keanekaragaman flora dan fauna, kerusakan permanen bentang alam serta ancaman konflik sosial akibat asimilasi dan akulturasi masyarakat lingkar tambang yang sangat dinamis.
Sebagai ilustrasi pada tahun 2020, PT Vale membelanjakan sebesar US$ 42 juta untuk kebutuhan batubara (426,429 juta liter), US$ 30 juta untuk membeli 76 juta liter High Speed Diesel (HSD) dan US$ 55 juta untuk membeli 1,3 juta barel High Sulfur Fuel Oil (HSFO). Total belanja untuk energi fossil PT. Vale tahun 2020 mencapai sekitar 1,7 triliun (Annual Report PT Vale Indonesia, 2020).
Konsumsi energi dalam volume sangat masif tersebut tentu saja berdampak langsung terhadap pencemaran udara dan penyebaran debu yang telah berlangsung lebih dari setengah abad. Dampaknya bagi kesehatan manusia dan ekologi di sekitar wilayah tambang tentu saja tidak dapat disepelekan.
Penolakan 3 Gubernur
Menimbang kompleksitas keberadaan PT. Vale Indonesia yang dinilai tidak maksimal berkontribusi terhadap pembangunan daerah, 3 Gubernur di Sulawesi secara tegas menyatakan penolakannya terhadap perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP) PT. Vale.
Keputusan 3 Gubernur tersebut disampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) Panitia Kerja (Panja) Vale dengan Sekjen dan Plh Dirjen Minerba Kementerian ESDM di Jakarta, Kamis 8 September 2022.
Ketiga Gubernur tersebut adalah Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura. “Satu kata dari kami, tidak ada perpanjangan untuk mereka (PT. Vale),”tegas Andi Sudirman dalam RDP tersebut (detiksulsel, 8 September, 2022).
Penolakan 3 Gubernur di Sulawesi tersebut bukanlah perkara main-main. Kontrak Karya (KK) PT. Vale akan berakhir pada 28 Desember 2025, sementara berbagai “kewajiban” perusahaan belum juga dituntaskan.
Diantara kewajiban itu adalah kejelasan divestasi saham sebesar 51% dimana negara baru menguasai sebesar 20%, sementara Vale mengklaim saham sebesar 20% yang terjual lewat Bursa Efek Indonesia juga dianggap sebagai bagian dari divestasi saham.
Menurut PT. Vale kewajiban divestasi saham untuk mematuhi kewajibannya sisa 11% saja. Pertanyaannya, siapa pemilik saham 20% yang dibeli oleh publik? Isu mendesak lainnya yang sampai hari ini tidak pernah diklarifikasi oleh PT. Vale adalah kejelasan status pengelolaan bendungan Larona (165 MW).
Dalam suratnya yang ditujukan ke Presiden Direktur PT. Vale Indonesia tanggal 4 Juli 2021, Bupati Luwu Timur mempertanyakan mengapa bendungan Larona tidak diserahkan ke negara (Batarapos, 08/07/2021).
Di laporan tahunan PT. Vale Indonesia tahun 2020 disebutkan bahwa, “Fasilitas pembangkit listrik tenaga air (PLTA) perseroan yang ada pada saat ini dibangun dan beroperasi berdasarkan Keputusan Pemerintah tahun 1975.
Keputusan ini yang secara efektif juga mencakup pembangkit listrik Karebbe dan Balambano (yang merupakan tambahan dari fasilitas pembangkit listrik awal Larona), memberikan hak kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil alih fasilitas listrik tenaga air tersebut, dengan pemberitahuan tertulis kepada perseroan dua tahun sebelum pengambilalihan” (Annual Report PT. Vale, 2020).
Beberapa Rekomendasi
Kunjungan Presiden ke Sorowako memberi angin segar bagi PT. Vale yang tengah berjuang meyakinkan pemerintah untuk mengamankan IUPK setelah 2025. Meski demikian, keputusan apakah memperpanjang izin pertambangan atau tidak tentu saja akan melewati proses yang tidak mudah. Yang pasti rezim KK telah berakhir.
Pemerintah pusat memegang kendali utama dalam pengambilan keputusan yang tentu saja akan mempertimbangkan rekomendasi dari DPR RI dalam hal ini Panitia Kerja PT Vale yang sedang bekerja.
Penolakan 3 Gubernur dan berbagai isu strategis lainnya seperti minimnya kontribusi ke daerah, divestasi saham, masalah lingkungan, tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat, pembinaan terhadap kontraktor lokal dan relasi dengan pemerintah Kabupaten dan Provinsi, tentu akan dijadikan perhatian khusus.
Memberikan IUPK ke PT. Vale Indonesia tanpa mempertimbangkan berbagai permasalahan kumulatif yang ekstra kompleks di atas tidak hanya memperburuk relasi antara pemangku kepentingan kunci di kabupaten dan provinsi, tetapi juga akan memperburuk hubungan antara pusat dan pemerintah daerah.
Resistensi masyarakat di lingkar tambang sudah pasti akan semakin menguat dan tentu saja akan mempersulit kinerja perusahaan untuk mencapai performa maksimal. Berikut ini beberapa rekomendasi yang patut dijadikan pertimbangan.
Pertama, pemerintah pusat segera melakukan dialog dengan pemerintah provinsi dan kabupaten dan mendengar aspirasi mereka mengenai keberadaan perusahaan selama lebih dari setengah abad beroperasi di wilayahnya.
Permasalahan yang mereka suarakan selayaknya didengarkan dan usulan mereka yang rasional seperti bagi hasil yang lebih berkeadilan, divestasi saham oleh provinsi dan kabupaten, pemberdayaan masyarakat yang tepat sasaran, rekrutmen tenaga kerja lokal dan pemberdayaan kontraktor lokal harus dipastikan diakomodir.
Rasanya tidak adil melihat kontribusi perusahaan yang tahun 2020 hanya sebesar Rp 138,6 milyar untuk provinsi dan Rp 190,4 milyar untuk kabupaten, sementara pengeluaran energi fossil yang mencemari lingkungan mencapai Rp 1,7 triliun.
Kedua, evaluasi komprehensif mengenai dampak lingkungan. Evaluasi yang melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten, masyarakat, media dan perguruan tinggi sangat mendesak untuk dilakukan.
Seperti disebutkan di atas, sekitar Rp 1,7 triliun belanja perusahaan di tahun 2020 untuk pembelian batubara, HSD dan HSFO yang tentu saja berkonsekuensi negatif terhadap manusia dan ekologi di sekitar pertambangan.
Kerusakan lingkungan akibat tambang terbuka diantaranya adalah pembukaan lahan (deforestasi) yang luasnya mencapai ribuan hektar, hilangnya flora dan fauna endemik, pencemaran air dan udara, pendangkalan danau dan deformasi lanskap yang sangat luas.
Valuasi komprehensif akibat kerusakan permanen dari proses pertambangan sangat mendesak dilakukan. Kekhawatiran akan besarnya kerusakan yang ditimbulkan dari pertambangan ketimbang manfaat yang diberikan patut dijadikan pertimbangan berdasarkan bukti-bukti berbasis saintifik (evidence based).
Ketiga, Divestasi saham. Sangat penting untuk memperjelas apakah kewajiban divestasi saham PT. Vale tersisa 11% atau 31%.
Kejelasan ini penting mengingat 20% saham yang diklaim PT. Vale terjual ke publik adalah bagian dari kewajiban divestasi 51% sangatlah tidak rasional.
Pemerintah harus mengusut pemilik saham 20% tersebut karena belum tentu semua pemiliknya adalah Warga Negara Indonesia.
Kejelasan selanjutnya adalah siapa yang diprioritaskan untuk membeli saham perusahaan yang menjadi kewajiban divestasi, apakah pemerintah pusat dalam hal ini MIND ID atau pemerintah povinsi atau kabupaten?
Catatan Penutup
Meski Presiden Jokowi telah melakukan kunjungan ke Sorowako, pemerintah pusat hendaknya tidak tergesa-gesa memutuskan perpanjangan IUPK PT. Vale Indonesia.
Keterbukaan dan keikhlasan pemerintah pusat untuk melibatkan pemerintah Provinsi, Kabupaten dan pergurun tinggi untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap keberadaan perusahaan yang telah beroperasi lebih dari setengah abad pasti akan sangat diapresiasi.
Penulis percaya, nasionalisme Presiden Jokowi tak akan pernah tergadaikan. Jejak rekam beliau telah terbukti memberi harapan kepada generasi penerus untuk menjadi pilar utama kemandirian bangsa secara ekonomi dan bermartabat secara kebudayaan.
[via TribunTimur]
Recent Publications
TSI in Media News