MAKASSAR – Dugaan terjadinya alih fungsi lahan kompensasi PLTA Karebbe yang berlokasi di wilayah Lampia, Kecamatan Malili menjadi kawasan industri menuai sorotan tajam dari sejumlah pihak.
Salah satunya dari Mantan Bupati Luwu Timur dua periode (2005–2015), H. Andi Hatta Marakarma atau akrab disapa Opu Hatta dalam Roundtable Discussion bertema “Prospek Kawasan Industri Luwu Timur; Telaah Aspek AMDAL dan Regulasi Teknis” yang digelar The Sawerigading Institute di Ruang Redaksi FAJAR, Gedung Graha Pena, Makassar, Jumat (31/10).

Dalam pandangannya, ada indikasi penyalahgunaan fungsi lahan yang semestinya berstatus kawasan hijau, namun kini justru dialihfungsikan menjadi kawasan industri.
“Persoalan ini kering dari sisi sosialnya. Faktor teknis administrasi perizinan bisa diatur, tapi kalau aspek sosial diabaikan, itu akan jadi masalah besar. Itu pengalaman empiris saya,” tegas Opu Hatta.
Diskusi ini dihadiri sejumlah pakar dan pejabat teknis dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemprov Sulsel, antara lain Dr. Azri Rasul (Kepala Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup Sulawesi Maluku), Syaiful Haris (Fungsional Penata Perizinan Dinas PMPTSP Sulsel), Dr. Fachrie Rezka Ayyub (Pengendali Dampak LH Dinas LHK Sulsel), Prof. Anwar Daud (Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Unhas), dan Abdul Wahid Sangka (Kadis PMPTSP Kabupaten Luwu Timur).
Jejak Lama dari MoU 2006
Sorotan Opu Hatta itu tak lepas dari polemik berkepanjangan terkait lahan kompensasi pembangunan PLTA Karebbe yang disiapkan oleh PT Inco (kini PT Vale Indonesia) sejak tahun 2006.
Kala itu, perusahaan mengusulkan sekitar 390 hektare lahan kompensasi untuk mengganti kawasan hutan yang digunakan dalam proyek PLTA Karebbe. Lokasi yang ditetapkan berada di sekitar Desa Lampia, Luwu Timur.
Namun, dalam perkembangannya, luas dan titik koordinat lahan yang diserahkan pada Pemda Luwu Timur mengalami perubahan menjadi 394,5 hektare.
Sejumlah pihak, termasuk tokoh masyarakat dan DPRD, mempertanyakan dasar hukum perubahan itu serta status kawasan yang belakangan diketahui menjadi bagian dari rencana kawasan industri baru.
“Kalau benar lahan itu dulunya kawasan hutan yang sudah dihijaukan (PT Inco) lalu dijadikan kawasan industri, itu jelas menyalahi aturan. Lahan kompensasi seharusnya digunakan untuk menghijaukan kembali kawasan hutan yang tergantikan, bukan malah dialihfungsikan lagi,” ujar Opu Hatta menegaskan.
Persoalan Legalitas dan Transparansi
Isu ini mencuat setelah Pemkab Luwu Timur melakukan kerja sama pemanfaatan lahan yang diduga berada di kawasan kompensasi tersebut dengan pihak swasta, salah satunya PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP).
Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Luwu Timur baru-baru ini juga mengungkap bahwa dewan tidak dilibatkan dalam proses sewa lahan, menambah panjang daftar pertanyaan publik terkait legalitas dan transparansi kebijakan ini.
Opu Hatta menilai, pemerintah daerah dan pihak terkait perlu bersikap terbuka kepada masyarakat mengenai asal-usul dan status lahan tersebut.
“Masyarakat berhak tahu agar semuanya jelas,” tegasnya.
Konteks Sosial dan Keberlanjutan
Selain aspek hukum dan lingkungan, Opu Hatta menyoroti bahwa kebijakan pengembangan kawasan industri sering kali mengabaikan dimensi sosial masyarakat lokal.
Ia menilai, pembangunan berkelanjutan tak bisa dilepaskan dari keseimbangan antara investasi dan kesejahteraan warga.
“Kalau hanya mengejar nilai ekonomi tanpa memperhatikan sosial dan lingkungan, yang rugi bukan hanya rakyat, tapi juga pemerintah dalam jangka panjang,” ujarnya.

The Sawerigading Institute: Investasi Harus Berkeadilan
Diskusi yang digagas The Sawerigading Institute ini merupakan tindak lanjut dari FGD sebelumnya pada 17 Oktober 2025 di Hotel MaxOne Makassar.
Lembaga ini menegaskan komitmennya untuk mengawal arah investasi di Luwu Raya agar tetap berpijak pada prinsip keberlanjutan, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan.
Isu lahan kompensasi PLTA Karebbe telah berakar sejak MoU 2006 antara PT Inco dan instansi kehutanan.
Sejumlah perubahan status dan peruntukan lahan yang terjadi setelahnya kini menjadi perhatian publik dan memerlukan klarifikasi menyeluruh dari pihak pemerintah maupun korporasi terkait. (*)
Posted: November 2, 2025 by TSI
Dugaan Alih Fungsi Lahan Kompensasi PLTA Karebbe Jadi Kawasan Industri Tuai Sorotan
MAKASSAR – Dugaan terjadinya alih fungsi lahan kompensasi PLTA Karebbe yang berlokasi di wilayah Lampia, Kecamatan Malili menjadi kawasan industri menuai sorotan tajam dari sejumlah pihak.
Salah satunya dari Mantan Bupati Luwu Timur dua periode (2005–2015), H. Andi Hatta Marakarma atau akrab disapa Opu Hatta dalam Roundtable Discussion bertema “Prospek Kawasan Industri Luwu Timur; Telaah Aspek AMDAL dan Regulasi Teknis” yang digelar The Sawerigading Institute di Ruang Redaksi FAJAR, Gedung Graha Pena, Makassar, Jumat (31/10).
Dalam pandangannya, ada indikasi penyalahgunaan fungsi lahan yang semestinya berstatus kawasan hijau, namun kini justru dialihfungsikan menjadi kawasan industri.
“Persoalan ini kering dari sisi sosialnya. Faktor teknis administrasi perizinan bisa diatur, tapi kalau aspek sosial diabaikan, itu akan jadi masalah besar. Itu pengalaman empiris saya,” tegas Opu Hatta.
Diskusi ini dihadiri sejumlah pakar dan pejabat teknis dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemprov Sulsel, antara lain Dr. Azri Rasul (Kepala Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup Sulawesi Maluku), Syaiful Haris (Fungsional Penata Perizinan Dinas PMPTSP Sulsel), Dr. Fachrie Rezka Ayyub (Pengendali Dampak LH Dinas LHK Sulsel), Prof. Anwar Daud (Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Unhas), dan Abdul Wahid Sangka (Kadis PMPTSP Kabupaten Luwu Timur).
Jejak Lama dari MoU 2006
Sorotan Opu Hatta itu tak lepas dari polemik berkepanjangan terkait lahan kompensasi pembangunan PLTA Karebbe yang disiapkan oleh PT Inco (kini PT Vale Indonesia) sejak tahun 2006.
Kala itu, perusahaan mengusulkan sekitar 390 hektare lahan kompensasi untuk mengganti kawasan hutan yang digunakan dalam proyek PLTA Karebbe. Lokasi yang ditetapkan berada di sekitar Desa Lampia, Luwu Timur.
Namun, dalam perkembangannya, luas dan titik koordinat lahan yang diserahkan pada Pemda Luwu Timur mengalami perubahan menjadi 394,5 hektare.
Sejumlah pihak, termasuk tokoh masyarakat dan DPRD, mempertanyakan dasar hukum perubahan itu serta status kawasan yang belakangan diketahui menjadi bagian dari rencana kawasan industri baru.
“Kalau benar lahan itu dulunya kawasan hutan yang sudah dihijaukan (PT Inco) lalu dijadikan kawasan industri, itu jelas menyalahi aturan. Lahan kompensasi seharusnya digunakan untuk menghijaukan kembali kawasan hutan yang tergantikan, bukan malah dialihfungsikan lagi,” ujar Opu Hatta menegaskan.
Persoalan Legalitas dan Transparansi
Isu ini mencuat setelah Pemkab Luwu Timur melakukan kerja sama pemanfaatan lahan yang diduga berada di kawasan kompensasi tersebut dengan pihak swasta, salah satunya PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP).
Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Luwu Timur baru-baru ini juga mengungkap bahwa dewan tidak dilibatkan dalam proses sewa lahan, menambah panjang daftar pertanyaan publik terkait legalitas dan transparansi kebijakan ini.
Opu Hatta menilai, pemerintah daerah dan pihak terkait perlu bersikap terbuka kepada masyarakat mengenai asal-usul dan status lahan tersebut.
“Masyarakat berhak tahu agar semuanya jelas,” tegasnya.
Konteks Sosial dan Keberlanjutan
Selain aspek hukum dan lingkungan, Opu Hatta menyoroti bahwa kebijakan pengembangan kawasan industri sering kali mengabaikan dimensi sosial masyarakat lokal.
Ia menilai, pembangunan berkelanjutan tak bisa dilepaskan dari keseimbangan antara investasi dan kesejahteraan warga.
“Kalau hanya mengejar nilai ekonomi tanpa memperhatikan sosial dan lingkungan, yang rugi bukan hanya rakyat, tapi juga pemerintah dalam jangka panjang,” ujarnya.
The Sawerigading Institute: Investasi Harus Berkeadilan
Diskusi yang digagas The Sawerigading Institute ini merupakan tindak lanjut dari FGD sebelumnya pada 17 Oktober 2025 di Hotel MaxOne Makassar.
Lembaga ini menegaskan komitmennya untuk mengawal arah investasi di Luwu Raya agar tetap berpijak pada prinsip keberlanjutan, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan.
Isu lahan kompensasi PLTA Karebbe telah berakar sejak MoU 2006 antara PT Inco dan instansi kehutanan.
Sejumlah perubahan status dan peruntukan lahan yang terjadi setelahnya kini menjadi perhatian publik dan memerlukan klarifikasi menyeluruh dari pihak pemerintah maupun korporasi terkait. (*)
THE SAWERIGADING INSTITUTE
Official Email:
thesawerigadinginstitute@gmail.com
Recent Publications