DLH Sulsel: Kawasan Industri di Lutim Wajib Penuhi Prinsip “Trust But Verify” dalam AMDAL

MAKASSAR — Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sulawesi Selatan menegaskan bahwa pengembangan kawasan industri di Kabupaten Luwu Timur harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian dan mematuhi prinsip “trust but verify” sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Dr Fachrie Rezka Ayyub, Fungsional Pengendali Dampak LH Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan (Foto: The Sawerigading Institute)
Dr Fachrie Rezka Ayyub, Fungsional Pengendali Dampak LH Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan (Foto: The Sawerigading Institute)

Hal itu disampaikan Dr. Fachrie Rezka Ayyub, Fungsional Pengendali Dampak LH Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, dalam forum Roundtable Discussion bertajuk “Prospek Pengembangan Kawasan Industri Luwu Timur: Telaah AMDAL dan Regulasi Teknis” yang digelar oleh The Sawerigading Institute, Jumat (31/10/2025).

Menurut Fachrie, prinsip trust but verify merupakan semangat utama Undang-Undang Cipta Kerja dalam menyederhanakan proses perizinan, tanpa mengabaikan aspek pengawasan dan tanggung jawab lingkungan.

“Prinsipnya, pemerintah memberikan kemudahan izin dengan tetap ada mekanisme verifikasi. Jadi, pelaku usaha dipercaya untuk menjalankan kegiatan, tetapi setiap langkahnya tetap harus diverifikasi oleh instansi berwenang,” ujar Fachrie.

Ia menjelaskan bahwa dalam kerangka regulasi baru, terdapat tiga perizinan dasar yang menjadi fondasi kegiatan berusaha: pemanfaatan ruang, persetujuan lingkungan, serta Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) atau Sertifikat Laik Fungsi (SLF).

Dari ketiganya, persetujuan lingkungan menjadi tahapan krusial karena menentukan kelayakan aktivitas industri terhadap ekosistem sekitar.

Sistem Perizinan Berbasis Risiko

Fachrie memaparkan bahwa sistem perizinan kini berbasis risiko, di mana setiap kegiatan usaha dikategorikan sebagai risiko tinggi, menengah, atau rendah.

Kawasan industri seperti yang sedang dikembangkan di Luwu Timur termasuk dalam kategori berisiko tinggi, sehingga wajib melalui kajian AMDAL secara menyeluruh.

“Dalam konteks lingkungan, tahapan AMDAL tidak bisa dilakukan tanpa dasar kesesuaian ruang seperti KKPR atau KKPRL. Semua proses harus terhubung secara berjenjang dan terintegrasi,” jelasnya.

Ia menambahkan, Undang-Undang Cipta Kerja juga mengenal asas fiksi positif, yakni jika pemerintah tidak mengeluarkan keputusan dalam batas waktu tertentu, maka izin dapat terbit otomatis melalui sistem OSS (Online Single Submission).

Namun, ia mengingatkan agar mekanisme ini tidak disalahartikan sebagai celah untuk menghindari kewajiban lingkungan.

“Kemudahan tidak berarti abai. Justru dibutuhkan ketelitian lebih dalam implementasi, terutama pada proyek strategis yang berpotensi berdampak luas,” ujarnya.

Roundtable Discussion oleh The Sawerigading Institute di Ruang Redaksi Harian Fajar Makassar1

Proyek IHIP Termasuk Kategori PSN

Dalam diskusi tersebut, Fachrie juga mengonfirmasi bahwa proyek pengembangan kawasan industri yang dijalankan oleh PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP) di Luwu Timur termasuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN).

Karena itu, seluruh proses Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)-nya menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Untuk proyek strategis nasional, pemerintah pusat memegang kewenangan penuh. Pemerintah provinsi dan kabupaten hanya dapat melakukan pemantauan dan memberikan rekomendasi,” katanya.

Ia menjelaskan, dokumen kerangka acuan (KA) AMDAL telah disusun dan dikonsultasikan secara publik melalui media cetak dan daring. Proses ini menjadi dasar bagi PT IHIP untuk melanjutkan ke penyusunan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) yang saat ini tengah dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL di tingkat pusat.

Menurutnya, dokumen AMDAL tidak hanya menentukan kelayakan lingkungan, tetapi juga merinci rencana pengelolaan dan pemantauan terhadap lima komponen terdampak: geofisik-kimia, biologi, sosial-ekonomi-budaya, dan kesehatan masyarakat.

“Semua aspek ini harus dikelola dengan baik agar dampak tidak meluas. AMDAL pada dasarnya adalah manual book bagi perusahaan — berisi panduan teknis pengelolaan dan pemantauan lingkungan,” papar Fachrie.

Roundtable Discussion oleh The Sawerigading Institute di Ruang Redaksi Harian Fajar Makassar1

Pendekatan Ultimum Remedium

Fachrie juga menekankan bahwa dalam kerangka hukum lingkungan yang baru, pendekatan ultimum remedium diterapkan, yakni penyelesaian administratif dan perdata diutamakan sebelum langkah pidana diambil.

“Kita kedepankan pembinaan dan pengawasan, bukan langsung penindakan. Tapi tentu, jika pelanggaran berat ditemukan, sanksi tetap diberlakukan sesuai kewenangan,” tegasnya.

Ia menambahkan, keberhasilan pengelolaan lingkungan tidak hanya ditentukan oleh kelengkapan dokumen AMDAL, melainkan oleh komitmen pemrakarsa dan sinergi antar pemerintah pusat dan daerah dalam pengawasan lapangan.

“AMDAL itu bukan sekadar formalitas. Ia adalah kompas moral dan teknis agar pembangunan industri berjalan berkelanjutan tanpa mengorbankan keseimbangan lingkungan,” tutup Fachrie.

Diskusi publik yang digagas The Sawerigading Institute tersebut dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, aktivis lingkungan, dan perwakilan pemerintah daerah, yang menyoroti pentingnya transparansi serta akuntabilitas dalam setiap tahapan perizinan kawasan industri di Luwu Timur. (*)